Thursday, September 17, 2009

Pelajaran Berhaga

Tinggal di luar negeri memberi banyak pengalaman dan pelajaran berharga buatku. Selama tinggal di kota kecil ini, di kota kembar Urbana-Champaign, Illinois, Amerika Serikat, aku mengamati banyak hal-hal positif yang patut ditiru dan diterapkan ketika kembali ke Indonesia nanti. Berikut ini hal-hal yang merupakan hasil pengamatanku dan aku berharap mampu meneruskannya kelak:

1. Disiplin

Kedisiplinan sangat dijunjung tinggi disini -karena jika tidak disiplin maka terkena sanksi berat- antara lain kedisiplinan berkendaraan di jalan raya, dari mulai kewajiban memakai seatbelt, anak harus duduk di car seat dan bukan dipangkuan orang dewasa hingga ketentuan mematuhi batas kecepatan maksimum. Siapapun mesti mematuhi kalau tak mau lembaran hijau pupus itu (baca: US dollar) melayang dari kantongmu. Jangan pernah ngebut melebihi batas kecepatan maksimal kalau tidak mau ditilang. Kalau sampai ditilang, jangan pernah juga berniat menyogok polisi kalau tidak mau dipenjara. Seorang teman pernah ngebut melebih batas kecepatan dan ditilang polisi sebesar USD100….duh sayang banget duitnya..mendingan buat beli tas coach pas diskon….hehehe…

Dalam hal parkir, ada beberapa ketentuan yang mesti diingat, antara lain:

- Jangan pernah memarkir kendaraan tidak pada tempatnya, kalau tidak mau di-tow (diderek) dan didenda sekitar USD100….

- Jangan juga memarkir kendaraan pada tempat yang ada tanda “disabled” karna itu ditujukan bagi pengemudi yang menggunakan kursi roda kalau tidak mau didenda USD250….wow…

- Di setiap tempat parkir disediakan parking meter yang berfungsi menentukan lama waktu parkir tergantung jumlah uang yang kita bayarkan. Jadi sistemnya bayar dulu baru boleh parkir. Hari tertentu, biasanya hari minggu, parkir gratis. Pernah di hari libur yang bukan hari minggu kami parkir tanpa membayar dan berasumsi hari libur parkir gratis, ternyata ketentuan itu tak berlaku. Maka datanglah “surat cinta” yang mendenda $15 karna tak membayar parkir. Huh….

2. Saling menghargai

- Di kota kecil ini, sering kali ketika berpapasan dengan orang asing, mereka tak sungkan untuk menyapa dengan “Hi” atau “How are you doing?” yang disertai dengan senyuman hangat. Hmm….sangat menyenangkan.

- Ketika akan memasuki gedung dan melewati sebuah pintu, biasanya orang yang melewati pintu itu akan melihat ke belakang untuk memastikan apakah ada orang lain yang ingin melewati pintu itu juga. Jika ya, maka ia akan menahan pintu itu dan member jalan pada orang dibelakangnya. Demikian juga ketika kita menahan pintu dan memberi jalan pada orang di belakang kita, mereka akan dengan sungguh-sungguh mengucapkan terima kasih.

- Penampilan bukanlah hal yang utama. Hitam-putih, gendut-kerempeng, tinggi-pendek, cantik-jelek, siapapun bebas memakai pakaian apapun. Tak perlu fitness 24 jam sehari untuk mendapatkan tubuh seksi bak gitar spanyol hanya supaya terlihat cantik menarik dan menjadi pusat perhatian. Tak perlu khawatir dicela ketika memakai pakaian minim meski lemak bergelambir dimana-mana. Tak perlu harus berpakaian mewah atau mengenakan perhiasan mahal ketika berbelanja hanya supaya ingin dilayani lebih baik dari orang yang berpakaian biasa. Siapapun dengan latar belakang apapun akan dihargai dengan mendapat perlakuan yang sama.

Suatu ketika di warung kopi, tepatnya di undergraduate library U of I, aku melihat seorang kakek di kursi roda dan (maaf) berbau amat pesing, berniat membeli secangkir kopi hangat di musim dingin. Si gadis pelayan berambut pirang dan bermata biru jernih dengan sangat ramah melayani kakek pesing itu tanpa memandang hina atau menganggap remeh.

Professor yang mengajar kami pun tak berjas mahal, bersepatu mengkilat atau mengenakan jam tangan Rolex. Beberapa sangat sederhana. Ada yang bersepeda ke kampus. Ada yang terlihat seperti belum mandi sebulan. Padahal gajinya jangan ditanya. Jauh lebih besar dari gaji seorang direktur, mungkin. Tapi mereka tak harus membuktikan status sosialnya dengan penampilan wah.

- Meski peduli dengan sesama, privasi tetap dijaga. Sepasang muda mudi yang dimabuk asmara berasyik masyuk di taman tidaklah menjadi tontonan gratis bagi orang yang lalu lalang. Siapapun boleh melintas tanpa harus melotot atau memberi komentar jahil.

3. Menghargai uang

Di Indonesia, harga barang relatif murah dan terjangkau hingga umumnya orang cenderung boros dan membeli tanpa membedakan keinginan atau kebutuhan. Kalau ingin, langsung beli tanpa perduli apakah barang itu memang dibutuhkan. Disini, harga barang-barang (buat kantongku) sangatlah mahal. Akibatnya aku jadi lebih menghargai uang dan tidak menghambur-hamburkannya untuk hal yang tak perlu. Selain itu, pola hidup masyarakat disini umumnya tidak konsumtif. Mereka tidak memakai pakaian mahal, perhiasan mahal, mobil mahal, atau berganti-ganti telepon genggam.

4. Menghargai matahari

Di daerah tropis, matahari bersinar sepanjang tahun. Sedangkan di negeri empat musim, sinar matahari menjadi barang langka dan amat dinanti. Di musim dingin, matahari bersinar cerah bukan berarti udara pun hangat. Jangan terkecoh oleh silaunya sinar matahari. Setelah merasakan kejamnya musim dingin, aku jadi begitu menghargai sinar matahari dan menikmatinya ketika cuaca cerah. Itu sebabnya, di hari ketika matahari bersinar cerah, orang-orang begitu menikmatinya dengan berbaring santai di rumput sambil membaca buku, bercengkrama dengan teman atau bahkan tidur! Hmmm…hukum kelangkaan (scarcity) berlaku juga disini.

5. Rajin men-cek ramalan cuaca

Mengingat cuaca begitu mudah berubah namun masih bisa diprediksi, situs ramalan cuaca di internet atau saluran ramalan cuaca di televisi menjadi pantauan wajib di pagi hari, terutama ketika ingin beraktivitas di luar rumah. Jangan sampai salah kostum karna lupa mencari informasi ramalan cuaca hari ini.

6. Mandiri

Tinggal di luar negeri dan jauh dari keluarga dan kerabat membuat kami lebih mandiri. Kemandirian juga terbentuk karna kami tak lagi dibantu oleh para asisten domestic seperti PRT dan Baby Sitter, otomatis tugas-tugas domestic menjadi tanggung jawab aku dan suamiku. Suamiku bertugas me-laundry pakaian, mengantarku belanja kebutuhan dapur dan menemani Jerome bermain kalau aku masih di kampus, dan mengantar jemput Jerome ke sekolah.

Sedangkan tugasku, selain belajar tentunya, adalah memasak (yang awalnya tugas terberat tapi kini sangat kunikmati), membersihkan apartemen, melipat pakaian yang sudah dicuci (tanpa disetrika karna tak ada waktu, bahasa prancisnya: dang sanga), menyuapi anakku Jerome, memandikannya, menyiapkan perlengkapannya ke sekolah, menemaninya bermain, dan membacakan buku kesukaannya.

Aku juga melihat orang-orang tua bisa hidup sendiri tanpa harus ditemani. Seorang teman pernah melihat seorang nenek tua ke rumah sakit mengendarai mobil seorang diri dengan membawa infus di tangan!

7. Mempelajari budaya asing

Amerika memang negara impian banyak orang, baik untuk belajar, berbisnis atau menjadi tempat tinggal tetap. Selama kuliah disini, aku bertemu banyak suku bangsa, ras dan agama. Kebetulan teman-teman kuliahku sebagian besar dari China. Dari mereka aku belajar banyak hal, seperti cara-cara berhemat, bekerja keras dan mempelajari cara belajar yang cepat tepat dan praktis (hmmm…hal terakhir ini masih sulit dilakukan). Mereka bisa berhitung dengan cepat tanpa menggunakan kalkulator! Selain teman-teman China, aku juga berteman dengan orang-orang Turki, Korea, Italy, Taiwan, Afghanistan, Iran, Tanzania, Thailand, Peru, Republik Dominika dan tentu saja Amerika. Masing-masing memberi warna dalam hidupku. Berteman dengan banyak orang memberi banyak manfaat dan memperluas pergaulan. Ketika butuh pertolongan, mereka tak sungkan membantu.

8. Menikmati hidup

Umumnya penduduk setempat sangat menikmati hidup. Di hari yang cerah, mereka menikmati hari dengan berjalan santai tanpa terburu-buru, saling menyapa, dan menikmati kegiatan harian mereka dengan santai. Di musim liburan, biasanya mereka isi dengan jalan-jalan keluar kota. Ketika kami berlibur ke luar kota, sering kali mobil kami berpapasan dengan mobil lain yang dikemudikan seorang nenek tua, atau kakek tua, atau sepasang nenek dan kakek, dan mereka terlihat ceria tanpa beban. Liburan bukanlah kebutuhan mewah tapi kebutuhan pokok. Menjadi tua tidak berarti hanya menghabiskan sisa umur di rumah.

9. Rajin berolah raga

Disini, sekali lagi, tak perduli hitam-putih, gendut-kerempeng, tinggi-pendek, cantik-jelek, tua-muda, umumnya rajin berolah raga (meski banyak juga pria wanita bertubuh amat tambun bahkan beberapa harus menggunakan kursi roda karna tak mampu lagi menahan bobot tubuhnya). Sering kali di tempat pusat kegiatan olah raga kampus, aku melihat kakek atau nenek sepuh yang tangannya pun sudah gemetaran akibat Parkinson, tapi tetap berolah raga, cukup 15 menit sehari, tapi rutin. Luar biasa. Itu sebabnya angka harapan hidup disini lebih tinggi. Usia pensiun pun jauh lebih lama, yaitu 65 tahun, bandingkan dengan Indonesia yang hanya sampai usia 55 tahun.

Hmmmm....apa lagi yah....untuk sementara ini, segini dulu ya...tak terasa sudah jam 1 pagi dan mataku sudah berat.....to be continued ya....