Monday, August 31, 2009

Kritis sebagai pasien

Membaca pengalaman Ibu Prita di RSOI, saya teringat pengalaman saya sendiri 3 tahun yang lalu.
Ketika itu saya sedang hamil anak saya Jerome, sekitar 9 bulan. Suami saya mengalami demam tinggi dan memutuskan untuk ke rumah sakit. Suami saya juga sudah memutuskan untuk dirawat inap saja, apapun penyakitnya, supaya bisa beristirahat dengan total (bed rest) dan kembali fit sebagai persiapan menyambut kelahiran anak pertama kami. Dari rumah, kami sudah mempersiapkan tas berisi pakaian ganti untuk beberapa hari dan perlengkapan harian lainnya. Maka kamipun menuju salah satu rumah sakit di daerah Jakarta Selatan (nama dan tempat sengaja dirahasiakan demi menghindari tuntutan pencemaran nama baik).

Setibanya kami di bagian gawat darurat, tekanan darah suami saya diperiksa, darahnya diambil untuk dicek Hb dll. Kemudian, suami saya dibawa ke kamar untuk rawat inap dan kami memilih kamar VIP untuk kenyamanan bersama supaya keluarga bisa menemani.

Saat itu, penyakit suami saya belum diketahui dengan pasti, masih menunggu hasil tes darah. Selang beberapa jam setelah suami dan saya berada di kamar, seorang perawat datang dan bersiap-siap menyuntikkan sesuatu ke tubuh suami saya. Sebelum perawat (suster) menyuntikkan sesuatu itu, saya pun bertanya,"itu apa suster?"
Si perawat menjawab,"antibiotik, Bu...harganya sekian juta (saya lupa persisnya)"
Saya pun terkaget-kaget, kok suami saya yang belum ketahuan penyakitnya apa sudah diputuskan untuk diberi antibiotik? harganya jutaan pula....
Lalu saya bertanya lagi,"memangnya sudah ketauan sakitnya apa? Lalu kenapa antibiotiknya yang dalam bentuk suntikan? kenapa tidak yang tablet saja?"
Si suster tak mampu menjawab dengan jelas, hanya bergumam bahwa itu adalah perintah dokter.
Saya yang pada dasarnya lembut dan berkepribadian menarik, tiba-tiba tersulut emosi. Kata saya,"Wah enak aja main suntik...apa karna kami di kamar VIP trus antibiotiknya pun harus yang mahal? emangnya apa bedanya antibiotik yang suntik dengan antibiotik tablet?"
Suster:"kalau yang tablet lebih lama, Bu...harus diminum rutin 5 hari. Kalau yang suntik cukup 3 hari.."
Saya:"kami gak masalah kalo memang harus minum antibiotik 5 hari. Kenapa kami tidak diberi pilihan, kenapa kalian langsung memutuskan sendiri? Lagipula, kenapa langsung disuntik antibiotik sedangkan sakitnya aja belum ketahuan????" Saya benar-benar emosi (tapi dalam hati komat-kamit berdoa semoga tidak terjadi apa-apa dengan kehamilan saya)....
Suster: "Baik Bu, kalo Ibu tidak bersedia, Ibu harus tanda tangani surat pernyataan yang menyatakan Ibu tidak bersedia suami Ibu diberi obat atas perintah dokter"
Saya:"Oke....mana suratnya? mana?? sini biar saya tanda tangani...." sambil membuat gerakan tangan yang sedang menandatangani surat perjanjian Linggarjati.

Si suster pun berlalu dan kami menunggu hingga akhirnya dia datang lagi dengan sepucuk surat, saya baca dan saya tanda tangani. Saya tak perduli. Suami saya yang sedari tadi diam, semakin diam dan hanya pasrah tak berdaya. Mungkin dia juga takut kena semprot istrinya yang biasanya berperangai halus tiba-tiba berubah galak bagaikan Sumanto sehabis menyantap sarapan orok....

Keesokan hari, hasil tes darah menunjukkan kalau suami saya menderita demam berdarah. Hari itu, mama mertua dan tante suami saya datang dan ikut menemani di RS. Setelah diketahui bahwa suami saya ternyata mengidap demam berdarah, saya merasa "lega" telah menolak suntikan "maut" si suster karena demam berdarah disebabkan oleh virus, sedangkan antibiotik hanya bisa membunuh bakteri, bukan virus. Buat apa saya membuang uang jutaan rupiah untuk sesuatu yang jelas tidak berguna, kan?
Saat itu saya kerap berkonsultasi via sms dengan rekan kantor, Ibu Riza, yang banyak memberi informasi penting dan bermanfaat dan saya percaya dengan informasinya.

Selama dirawat di RS, tante suami saya rutin membawakan jus jambu biji setiap hari, dan setelah 3 hari, Hb darah suami saya pun kembali normal dan kami diijinkan untuk pulang.
Saya pun lega, suami kembali sehat, mama mertua dan tante ikut senang.

Demikianlah pengalaman saya saat berhubungan dengan RS yang saat ini cenderung komersil, kita sebagai pasien sebaiknya harus kritis. Saya juga mendapat banyak pengalaman dan informasi berharga, terutama setelah banyak berkonsultasi dengan Ibu Riza yang cerdas dan kritis.

Sebagai pasien, kita berhak tau obat apa yang diberikan kepada kita, kenapa dokter memberikan obat itu, dan apa efek sampingnya bagi kita.

Sebagai pasien, kita juga harus tau apakah tubuh kita mempunyai alergi terhadap obat tertentu, sebab jika ternyata alergi, akan sangat fatal akibatnya.

Sebagai pasien, kita berhak bertanya apa saja mengenai penyakit kita, dan dokter yang baik akan menjawab pertanyaan-pertanyaan kita dengan jelas dan lengkap, tidak terburu-buru dan tidak terkesan sok. Pernah saya punya pengalaman dengan seorang dokter, yang ketika saya bertanya tentang penyakit saya, beliau menjawab,"kalau Ibu ingin tau, Ibu kuliah kedokteran saja dulu"..waks...saya putuskan untuk tidak lagi berobat kepadanya....Kita sebagai pasien sudah membayar mahal untuk biaya bertemu dokter, mengapa kita tidak boleh tau tentang penyakit kita? Saat ini, di Jakarta, untuk berkonsultasi dengan seorang dokter spesialis, rata-rata biayanya sekitar Rp 100.000 - 150.000 dan jumlah itu tidak termasuk biaya obat. Itu sebabnya, dengan membayar biaya sebesar itu, kita berhak tau tentang penyakit kita. Supaya tidak lupa, biasanya saya menyiapkan selembar kertas dari rumah berisi daftar pertanyaan-pertanyaan saya. Saya juga menyiapkan pulpen untuk menulis jawaban dari dokter.

Sebagai pasien, kita juga sebaiknya tidak langsung membeli semua obat yang dituliskan dengan lancar oleh seorang dokter untuk dibeli. Ada baiknya kita mencari second, third, fourth atau x-th opinion jika hasil konsultasi dengan dokter meragukan. Jika ternyata second, third, fourth atau x-th opinion hasilnya berbeda-beda, kita patut waspada dan mencoba mencari informasi dari internet, dan kalau punya rejeki berlebih, sebaiknya berobat ke luar negeri, bisa ke Penang Malaysia atau Singapore.

Sebagai pasien, ketika demam, ada baiknya kita menunggu beberapa hari, jika hari ketiga masih demam, barulah kita ke dokter. Jangan terburu-buru ke dokter supaya diagnosisnya lebih akurat.

Berdasarkan pengalaman saya selama tinggal di Amerika, saya melihat bahwa seorang dokter tidak begitu saja memberi obat kepada pasien yang sakit. Pengalaman seorang teman, ketika anaknya demam dan dibawa ke dokter, dokter menyuruh mereka pulang dan berpesan supaya si anak diberi minum yang banyak, makan yang banyak, dan istirahat cukup. Tanpa obat. Tanpa opname.
Ketika seorang pasien mengeluh sakit, apapun keluhannya, RS akan melakukan pemeriksaan menyeluruh, tidak hanya bagian yang dikeluhkan pasien. Dengan demikian, dokter bisa memperoleh informasi kondisi fisik pasien dengan lengkap.

Sebagai manusia, jagalah kesehatan karena kesehatan itu mahal harganya. Ini mungkin kalimat basi, tapi sangat penting dan benar adanya. Ketika kita sakit, apapun yang kita miliki menjadi tak berguna.

Salam sehat,
frida sinurat


Urbana,
June 14th, 2009

No comments:

Post a Comment